Adat perkawinan Minang Kabau
1. Fungsi perkawinan
ImageManusia dalam perjalanan hidupnya melalui tingkat dan masa-masa tertentu yang dapat kita sebut dengan daur-hidup. Daur hidup ini dapat dibagi menjadi masa balita (bawah usia lima tahun), masa kanak-kanak, masa remaja, masa pancaroba, masa perkawinan, masa berkeluarga, masa usia senja dan masa tua. Tiap peralihan dari satu masa ke masa berikutnya merupakan saat kritis dalam kehidupan manusia itu sendiri. Salah satu masa peralihan yang sangat penting dalam Adat Minangkabau adalah pada saat menginjak masa perkawinan.
Masa perkawinan merupakan masa permulaan bagi seseorang melepaskan dirinya dari lingkungan kelompok keluarganya, dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri, yang secara rohaniah tidak lepas dari pengaruh kelompok hidupnya semula. Dengan demikian perkawinan dapat juga disebut sebagai titik awal dari proses pemekaran kelompok. Pada umumnya perkawinan mempunyai aneka fungsi sebagai berikut :
* Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara pria dengan wanita dipandang dari sudut adat dan agama serta undang-undang negara.
* Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami istri dan anak-anak.
* Memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup status sosial dan terutama untuk memperoleh ketentraman batin.
Memelihara kelangsungan hidup “kekerabatan” dan menghindari kepunahan. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
2. Perkawinan Adat Minangkabau
Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan bagaimanapun, perkawinan memerlukan penyesuaian dalam banyak hal. Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara kedua keluarga. Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain sebagainya. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga kelak kemudian. Perkawinan juga menuntut suatu tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan hidup dan tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan. Berpilin duanya antara adat dan agama Islam di Minangkabau membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan adat, maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak dapat diabaikan khususnya dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan. Pelanggaran apalagi pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan, akan membawa konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan. Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama, walau tak pernah diundangkan sangat berat dan kadangkala jauh lebih berat dari pada hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negara. Hukuman itu tidak kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang. Karena itu dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau. Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut : Kedua calon mempelai harus beragama Islam.
* Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain.
* Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
* Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Selain dari itu masih ada tatakrama dan upacara adat dan ketentuan agama Islam yang harus dipenuhi seperti tatakrama jopuik manjopuik, pinang meminang, batuka tando, akad nikah, baralek gadang, jalang manjalang dan sebagainya. Tatakrama dan upacara adat perkawinan inipun tak mungkin diremehkan karena semua orang Minang menganggap bahwa “Perkawinan itu sesuatu yang agung”, yang kini diyakini hanya “sekali” seumur hidup. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
3. Perkawinan Eksogami
Menurut ajaran Islam sebagai agama satu-satunya yang dianut orang Minang dikatakan bahwa ada 3 hal yang mutlak hanya diketahui dan ditentukan Tuhan untuk masing-masing kita. Pertama adalah umur kita sebagai manusia. Tidak seorangpun tahu kapan dia akan mati. Kedua adalah rezeki. Sebagai manusia kita hanya dituntut berikhtiar dan berusaha namun berapa rezeki yang akan diberikan kepada kita secara mutlak ditentukan oleh Tuhan. Ketiga adalah jodoh. Apapun upaya yang dilakukan oleh anak manusia, bagaimanapun cintanya dia kepada seseorang, kalau Tuhan tidak mengizinkan, perkawinan tidak akan terlaksana. Sebaliknya kalau memang jodohnya, kenal dua minggupun, perkawinan dapat terjadi. Karena itu sebagai orang Islam kita hanya senantiasa berdoa semoga dipanjangkan umurnya, diberi rezeki yang banyak dan dientengkan jodohnya, disamping tetap berusaha mencari pasangan hidupnya. Sekalipun demikian masyarakatpun mempunyai peranan yang besar dalam penetapan jodoh. Dalam masyarakat Jawa misalnya, pemilihan jodoh hampir tidak ada pembatasan. Namun perkawinan antara saudara sekandung tetap tidak diperbolehkan. Pada tiap masyarakat, orang memang harus kawin diluar batas suatu lingkungan tertentu. Perkawinan diluar batas tertentu ini disebut dengan istilah “eksogami”. Istilah eksogami ini mempunyai pengertian yang sangat nisbi (relatif). Pengertian diluar batas lingkungan bisa diartikan luas namun bisa pula sangat sempit. Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat kalau orang dilarang kawin dengan saudara-saudara kandungnya, maka kita sebut “eksogami keluarga batih”. Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai marga “marga” yang sama, disebut “eksogami marga”. Kalau orang dilarang kawin dengan orang yang berasal dari “nagari” yang sama, kita sebut dengan “eksogami nagari”. Adat Minang menentukan bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari suku yang serumpun. Oleh karena garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis ibu, maka suku serumpun disini dimaksudkan “serumpun menurut garis ibu”, maka disebut “eksogami matrilokal atau eksogami matrilinial”. Dalam hal ini para ninik-mamak, alim ulama, cendekiawan, para pakar adat dan pecinta adat Minang dituntut untuk memberikan kata sepakat mengenai rumusan (definisi) pengertian kata serumpun ini yang akan diperlakukan dalam perkawinan di Minang kabau. Apakah “serumpun” itu sama dengan “samande”, “saparuik”, “sajurai”, “sasuku”, ataukah “sasuduik”. Pengamatan kami membuktikan bahwa pengertian “serumpun” ini tidak sama di Minangkabau. Bahkan dalam satu nagari saja, pengertian ini tidak sama, sehingga sangat membingungkan masyarakat awam, apalagi generasi muda Minangkabau. Di nagari kubang di Luhak 50-Kota misalnya, pengetian serumpun disamakan dengan “sasuduik”. Yang dimaksudkan dengan “sasuduik” adalah satu kelompok dari beberapa “suku”. Misalnya “Suduik nan 5″, terdiri dari 5 (lima) buah suku yaitu suku Jambak, suku Pitopang, suku Kutianyir, suku Salo dan suku Banuhampu. Kelima buah suku ini dianggap serumpun, sehingga antara kelima buah suku itu tidak boleh dilakukan perkawinan. Kalau sampai terjadi bisa “dibuang sepanjang adat” karena dianggap perkawinan “endogami” atau perkawinan didalam rumpun sendiri, yang berlawanan dengan prinsip “eksogami” yang dianut di Minangkabau. Tapi pengertian “sarumpun” sama dengan “sasuduik” ini tidak konsisten pula, sebab ternyata perkawinan sesama anggota dari “suduik nan 6″ dan sama-sama berasal dari suku “Caniago” dan dalam nagari yang sama, malah diperbolehkan. Pengertian “serumpun” yang tidak konsisten semacam ini, jelas akan sangat membingungkan anak kemenakan di Minangkabau dalam memahami adat perkawinan di Minangkabau. Pengertian serumpun yang tidak sama ini juga merupakan penghalang dalam mencari jodoh. Semakin luas atau semakin banyak suku yang terhimpun dalam “serumpun” semakin “sempit” arena perburuan mencari jodoh. Hal ini berakibat makin lama, makin sulit bagi muda-mudi mencari pasangan dalam lingkungan masyarakatnya sendiri. Misalnya bagi muda-mudi dari sudut nan 5 diatas, sangat musykil mencari jodoh di nagari Kubang itu. Ini adalah suatu realita yang dapat dibuktikan. Akibatnya banyak yang kawin ke luar “nagari”, bahkan sudah ada yang sampai ke luar negeri. Kami tidak mengatakan bahwa hal ini menunjukkan gejala yang baik, atau tidak baik, tetapi sekedar menunjukkan bahwa prinsip “eksogami matrilinial” akan mandek sendiri, bila pengertian serumpun tidak segera direvisi dan diperkecil dari pengertian umum yang ada sekarang. Hal ini perlu segera dilakukan bila kita ingin melestarikan prinsip-prinsip pokok adat perkawinan Minangkabau khususnya. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
4. Urang Sumando
Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, adat Minang juga menganut paham yang dalam istilah antropologi disebut dengan sistem “matri-local” atau lazim disebut dengan sistem “uxori-local” yang menetapkan bahwa marapulai atau suami bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri, atau didalam lingkungan kekerabatan istri. Namun demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak berubah menjadi status pesukuan istrinya. Status suami dalam lingkungan kekerabatan istrinya adalah dianggap sebagai “tamu terhormat”, tetap dianggap sebagai pendatang. Sebagai pendatang kedudukannya sering digambarkan secara dramatis bagaikan “abu diatas tunggul”, dalam arti kata sangat lemah, sangat mudah disingkirkan. Namun sebaliknya dapat juga diartikan bahwa suami haruslah sangat berhati-hati dalam menempatkan dirinya dilingkungan kerabat istrinya. Dilain pihak perkawinan bagi seorang perjaka Minang berarti pula, langkah awal bagi dirinya meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai hidup baru dilingkungan kerabat istrinya. Prosesi turun janjang dari rumah tangga orang tuanya, bagi seorang perjaka Minang adalah suatu peristiwa yang sangat mengharukan. Rasa sedih dan gembira bergalau menjadi satu. Upacara turun janjang ini, dilakukan dalam rangka upacara “japuik menjapuik”, yang berlaku dalam perkawinan adat Minang. Pepatah Minang mengatur upacara ini sebagai berikut; Sigai mancari anau Anau tatap sigai baranjak Datang dek bajapuik Pai jo baanta
Ayam putieh tabang siang Basuluah matoari Bagalanggang mato rang banyak., (Tangga mencari enau) Enau tetap tangga berpindah Datang karena dijemput
Pergi dengan diantar (Bagaikan) Ayam putih terbang siang Bersuluh matahari Bergelanggang (disaksikan) mata orang banyak. Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa dalam setiap perkawinan adat Minang “semua laki-laki yang diantar ke rumah istrinya, dengan dijemput oleh keluarga istrinya secara adat dan diantar pula bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki secara adat pula. Mulai sejak itu suami menetap di rumah atau dikampung halaman istrinya.” Bila terjadi perceraian, suamilah yang harus pergi dari rumah istrinya. Sedangkan istri tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat. Bila istrinya meninggal dunia, maka kewajiban keluarga pihak suami untuk segera menjemput suami yang sudah menjadi duda itu, untuk dibawa kembali kedalam lingkungan sukunya atau kembali ke kampung halamannya. Situasi ini sungguh sangat menyedihkan, namun begitulah ketentuan adat Minang. Secara lahiriyah maupun rohaniah yang memiliki rumah di Minangkabau adalah wanita dan kaum pria hanya menumpang. Tempat berlindung pria Minang adalah surau. Menyedihkan memang. Tapi ini pula yang menjadi sumber dinamika pria Minang, sehingga mereka menjadi perantau atau pengembara yang tangguh. Kenyataan ini dihayati dan diterima dengan sadar oleh hampir seluruh warga Minang, baik mereka yang menempati Rumah Gadang tradisional, maupun yang menempati rumah gedung modern, baik mereka yang bermukim di kampung halaman, maupun mereka yang sudah merantau ke kota besar. Berdasarkan pola yang demikian, sudah lazim penghuni Rumah Gadang di Minangkabau adalah kaum wanita dengan suami dan anak-anak mereka terutama anak-anak wanita. Anak-anak laki-laki mulai usia sekolah, dulu sudah harus mengaji di surau-surau, belajar silat, bergaul dengan pria dalam segala tingkat usia, sehingga mereka terbiasa hidup secara spartan (secara keras dan jantan). Dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang (Urang Sumando) sangat lemah. Sedangkan kedudukan anak-lelaki, secara fisik tidak punya tempat di rumah ibunya. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya sendiri, maka ia tidak lagi memiliki tempat tinggal. Situasi macam ini secara logis mendorong pria Minang untuk berusaha menjadi orang baik agar disengani oleh dunsanaknya sendiri, maupun oleh keluarga pihak istrinya. Pada dasarnya di Minangkabau anak laki-laki sejak kecil sudah dipaksa hidup berpisah dengan orang tua dan saudara-saudara wanitanya. Mereka dipaksa hidup berkelompok di surau-surau dan tidak lagi hidup di rumah Gadang dengan ibunya. Sekalipun di rumah gedung modern sudah ada pencampuran hidup bersama antara anak lelaki dan anak wanita Minang, namun prinsip pergaulan terpisah ini tetap dijalankan. Antara mereka anak lelaki dan anak wanita tetap mempunyai jarak dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini merupakan salah satu dasar dari ajaran moralita menurut adat Minang. Adat Minang tidak mengenal ajaran pergaulan bebas, walau antara saudara kandung sendiri. Kehidupan keluarga yang seperti ini, diperkirakan telah melahirkan watak perantau bagi pria Minang dan watak Bundo Kanduang bagi wanita Minang, mereka menjadi wanita yang sangat terampil dan cermat dalam mendidik anak-anak dan dalam mengendalikan harta pusaka. Dengan adanya ketentuan domisili-matrilokal ini, mengharuskan para suami bersikap hati-hati karena akan selalu mendapat sorotan dari keluarga istri. Berbagai istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah laku Urang Sumando mereka. Ada Urang Sumando memperoleh sebutan terhormat sebagai “Rang Sumando Niniek-mamak”, karena tingkah laku dan adat istiadatnya menyenangkan pihak keluarga istri. Namun sebaliknya banyak pula Urang Sumando ini yang mendapat gelar-gelar ejekan yang diberikan kepada Urang Sumando itu sesuai dengan tingkah polah perangai mereka itu. “Rang Sumando” yang kerjanya hanya kawin-cerai di setiap kampung dan meninggalkan anak dimana-mana disebut dengan “Rang Sumando” Langau-Hijau atau “Rang Sumando” Lalat-Hijau yang kerjanya meninggalkan larva (ulat) dimana-mana. “Rang Sumando” yang kerjanya hanya mengganggu ketentraman tetangga karena menghasut dan memfitnah, atau memelihara binatang ternak yang dapat mengganggu lingkungan seperti itik, ayam, kambing dan lainnya diberi gelar “Rang Sumando Kacang Miang”, yaitu sejenis kacang-kacangan yang kulitnya berbulu gatal-gatal. Di Minangkabau berlaku pepatah “Kaluak paku kacang balimbing, daun simantuang lenggang-lenggangkan anak dipangku kemenakan dibimbing urang kampung dipatenggangkan “. Kalau seorang suami sampai lupa kepada kemenakan dan kampung halamannya sendiri, karena sibuk dan rintang dengan anak dan istrinya saja, maka suami yang demikian itu diberi gelar oleh orang kampungnya sendiri sebagai “Rang Sumando Lapiak Buruak”, yang artinya Rang Sumando yang diibaratkan sama dengan tikar pandan yang lusuh di rumah istrinya. Bagi suami atau “Rang Sumando” yang kurang memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri, maka “Rang Sumando” yang demikian itu mendapat gelar “Rang Sumando apak paja”, yang artinya hanya berfungsi sebagai pejantan biasa dan Rang Sumando semacam ini merupakan kebalikan dari Rang Sumando lapiak buruak yang menjadi “orang pandie” di rumah istrinya. Dalam zaman modern ini, dimana kehidupan telah berubah dari sektor agraria menjadi sektor jasa dan industri, maka sebagian keluarga Minang terutama di rantau telah berubah dan cenderung kearah pembentukan keluarga batih dalam sistem patrilinial atau sistem keluarga barat dimana bapak merasa dirinya sebagai kepala keluarga dan sekaligus sebagai kepala kaum, menggantikan kedudukan mamak. Kecenderungan semacam ini telah merusak tatanan sistem kekerabatan keluarga Minang yang telah melahirkan pula jenis. “Rang Sumando”, bentuk baru yang dapat kita beri sebutan sebagai “Rang Sumando Gadang Malendo”, yang tanpa malu-malu telah menempatkan dirinya sendiri sebagai kepala kaum, sehingga menyulitkan kedudukan mamak terhadap para kemenakannya. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
5. Maresek
Awal dari sebuah perkawinan jika menjadi urusan keluarga, bermula dari penjajakan. Di Minangkabau sendiri kegiatan ini disebut dengan berbagai istilah. Ada yang menyebut maresek, ada yang mengatakan marisiak, ada juga yang menyebut marosok sesuai dengan dialek daerah masing-masing. Namun arti dan tujuannya sama, yaitu melakukan penjajakan pertama. Siapa yang harus melakukan penjajakan ini ? Apakah pihak keluarga yang wanita, atau pihak keluarga yang laki-laki ?. Inipun berbeda-beda pelaksanaannya di Sumatera Barat. Ada nagari-nagari dimana pihak perempuan yang datang lebih dahulu melamar. Tapi ada juga nagari-nagari dimana pihak laki-laki yang melakukan pelamaran. Namun sesuai dengan sistem kekerabatan matrilineal yang berlaku di Minangkabau, maka yang umum melakukan lamaran ini adalah pihak keluarga perempuan. Sebagaimana telah kita sebutkan diatas sebelum lamaran yang sebenarnya dilakukan, maka yang dilaksanakan terlebih dahulu adalah penjajakan. Untuk ini tidak perlu ayah-ibu atau mamak-mamak langsung dari si anak gadis yang akan dicarikan jodoh itu yang datang. Biasanya perempuan-perempuan yang sudah berpengalaman untuk urusan-urusan semacam itu yang diutus terlebih dahulu. Tujuannya adalah mengajuk-ajuk apa pemuda yang dituju telah niat untuk dikawinkan dan kalau sudah berniat apakah ada kemungkinan kalau dijodohkan dengan anak gadis si Anu yang juga sudah berniat untuk berumah tangga. Jika mamak atau ayah bundanya nampak memberikan respon yang baik, maka angin baik ini segera disampaikan kembali oleh si telangkai tadi kepada mamak dan ayah bunda pihak si gadis. Urusan resek maresek ini tidak hanya berlaku dalam tradisi lama, tetapi juga berlaku sampai sekarang baik bagi keluarga yang masih berada di Sumatera Barat, maupun bagi mereka yang sudah bermukim dirantau-rantau. Terutama tentu saja bagi keluarga-keluarga yang keputusan-keputusan penting mengenai hidup dan masa depan anak-anaknya masih tergantung kepada orang-orang tua mereka. Untuk kasus-kasus yang semacam ini, tentang siapa yang harus terlebih dahulu melakukan penjajakan, tidaklah merupakan masalah. Karena disini berlaku hukum sesuai dengan pepatah petitih : Sia marunduak sia bungkuakSia malompek sia patahArtinya siapa yang lebih berkehendakTentulah dia yang harus mengalah Seringkali resek-maresek ini tidak selesai satu kali, tapi bisa berlanjut dalam beberapa kali perundingan. Dan jika semuanya telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak kemenakan masing-masing dan segala persyaratan untuk itupun telah disetujui oleh pihak keluarga laki-laki dengan telangkai yang datang, maka barulah langkah selanjutnya ditentukan untuk mengadakan pertemuan secara lebih resmi oleh keluarga kedua belah pihak. Acara inilah yang disebut acara maminang. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau)
6. Maminang
Pada hari yang telah ditentukan, pihak keluarga anak gadis yang akan dijodohkan itu dengan dipimpin oleh mamak mamaknya datang bersama-sama kerumah keluarga calon pemuda yang dituju. Lazimnya untukacara pertemuan resmi pertama ini diikuti oleh ibu dan ayah si gadis dan diiringkan oleh beberapa orang wanita yang patut-patut dari keluarganya. Dan biasanya rombongan yang datang juga telah membawa seorang juru bicara yang mahir berbasa-basi dan fasih berkata-kata, jika sekiranya si mamak sendiri bukan orang ahli untuk itu.
Untuk menghindarkan hal-hal yang dapat menjadi penghalang bagi kelancaran pertemuan kedua keluarga untuk pertama kali ini, lazimnya si telangkai yang telah marisiak, sebelumnya telah membicarakan dan mencari kesepakatan dengan keluarga pihak pria mengenai materi apa saja yang akan dibicarakan pada acara maminang itu. Apakah setelah meminang dan pinangan diterima lalu langsung dilakukan acara batuka tando atau batimbang tando ? Batuka tando secara harfiah artinya adalah bertukar tanda. Kedua belah pihak keluarga yang telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak kemenakannya itu, saling memberikan benda sebagai tanda ikatan sesuai dengan hukum perjanjian pertunangan menurut adat Minangkabau yang berbunyi : Batampuak lah buliah dijinjiang,
Batali lah buliah diirik Artinya kalau tanda telah dipertukarkan dalam satu acara resmi oleh keluarga kedua belah pihak, maka bukan saja antar kedua anak muda tersebut telah ada keterikatan dan pengesahan masyarakat sebagai dua orang yang telah bertunangan, tetapi juga antar kedua belah keluarga pun telah terikat untuk saling mengisi adat dan terikat untuk tidak dapat memutuskan secara sepihak perjanjian yang telah disepakati itu.
Barang-barang yang Dibawa
Barang-barang yang dibawa waktu maminang, yang utama adalah sirih pinang lengkap. Apakah disusun dalam carano atau dibawa dengan kampia, tidak menjadi soal. Yang penting sirih lengkap harus ada. Tidaklah disebut beradat sebuah acara, kalau tidak ada sirih diketengahkan. Pada daun sirih yang akan dikunyah menimbulkan dua rasa dilidah, yaitu pahit dan manis, terkandung simbol-simbol tentang harapan dan kearifan manusia akan kekurangan-kekurangan mereka. Lazim saja selama pertemuan itu terjadi kekhilafan-kekhilafan baik dalam tindak-tanduk maupun dalam perkataan, maka dengan menyuguhkan sirih di awal pertemuan, maka segala yang janggal itu tidak akan jadi gunjingan. Sebagaimana dalam pasambahan siriah disebutkan :
Kok Siriah lah kami makan
Manih lah lakek diujuang lidah
Pahik lah luluih karakuangan
Jika sirih sudah kami makan
Yang manis lekat di ujung lidah
Yang pahit lolos ke kerongkongan
Artinya orang tidak lagi mengingat-ingat segala yang jelek, hanya yang manis saja pada pertemuan itu yang akan melekat dalam kenangannya. Kalau disepakati sebelumnya bahwa pada acara maminang tersebut sekaligus juga akan dilangsungkan acara batuka tando atau batimbang tando maka benda yang akan dipertukarkan sebagai tanda itu juga dibawa; yang tentu saja diletakkan pada satu wadah yang sudah dihiasi dengan bagus (dulung atau nampan). Yang dijadikan sebagai tanda untuk dipertukarkan lazimnya adalah benda-benda pusaka, seperti keris, atau kain adat yang mengandung nilai sejarah bagi keluarga. Jadi bukan dinilai dari kebaruan dan kemahalan harganya, tetapi justru karena sejarahnya itu yang sangat berarti dan tidak dapat dinilai dengan uang. Umpamanya sebuah kain balapak yang telah berumur puluhan tahun yang pernah diwariskan oleh nenek si gadis sebelum meninggal, atau kain adat yang pernah dipakai oleh ibu si gadis pada perkawinannya puluhan tahun yang lalu. Karena nilai-nilai sejarahnya inilah maka barang-barang yang dijadikan tanda itu menjadi sangat berharga bagi keluarga yang bersangkutan dan karena itu pula maka setelah nanti akad nikah dilangsungkan, masing-masing tanda ini harus dikembalikan lagi dalam suatu acara resmi oleh kedua belah pihak. Sesuai dengan etika pergaulan, bertandang biasapun kerumah orang, lazim kita membawa buah tangan, maka dalam acara resmi beradat, seyogyanya pihak rombongan yang datang juga membawa kue-kue atau buah-buahan sebagai oleh-oleh.
Urutan Acara
Pembicaraan dalam acara maminang dan batuka tando ini berlangsung antara mamak atau wakil dari pihak keluarga si gadis dengan mamak atau wakil dari pihak keluarga pemuda. Bertolak dari penjajakan-penjajakan yang telah dilakukan sebelumnya ada empat hal secara simultan yang dapat dibicarakan, dimufakati dan diputuskan oleh kedua belah pihak saat ini.
1. Melamar => menyampaikan secara resmi lamaran dari pihak keluarga si gadis kepada pihak keluarga si pemuda
2. Batuka tando => Mempertukarkan tanda ikatan masing-masing
3. Baretong => Memperembukkan tata cara yang akan dilaksanakan nanti dalam penjemputan calon pengantin pria waktu akan dinikahkan
4. Manakuak hari => Menentukan waktu kapan niat itu akan dilaksanakan
Namun menurut yang lazim dikampung, jika acara maminang itu bukan sesuatu yang sudah direkayasa oleh kedua keluarga sebelumnya, maka acara ini akan berlangsung berkali-kali sebelum urutan ketentuan diatas dapat dilaksanakan. Karena pihak keluarga pemuda pasti tidak dapat memberikan jawaban langsung pada pertemuan pertama itu. Orang tuanya atau ninik mamaknya akan meminta waktu terlebih dahulu untuk memperembukkan lamaran itu dengan keluarga-keluarganya yang patut-patut lainnya. Paling-paling pada pertemuan tersebut, pihak keluarga pemuda menentukan waktu kapan mereka memberikan jawaban atas lamaran itu. Acara maminang yang berlangsung dikota-kota umumnya sudah dibuat dengan skenario yang praktis berdasarkan persetujuan kedua keluarga, sehingga urutan-urutan seperti yang dicantumkan diatas dapat dilaksanakan secara simultan dan diselesaikan dalam satu kali pertemuan. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau)
7. Minta Izin / Mahanta Siriah
Bila seseorang pemuda telah ditentukan jodoh dan hari perkawinannya, maka kewajiban yang pertama menurut adat yang terpikul langsung ke diri orang yang bersangkutan, ialah memberi tahu dan mohon doa restu kepada mamak-mamaknya, kepada saudara-saudara ayahnya; kepada kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan kepada orang-orang tua lainnya yang dihormati dalam keluarganya. Acara ini pada beberapa daerah di Sumatera Barat disebut minta izin. Bagi pihak calon pengantin wanita, kewajiban ini tidaklah terpikul langsung kepada calon anak daro, tetapi dilaksanakan oleh kaum keluarganya yang wanita yang telah berkeluarga. Acaranya bukan disebut minta izin tapi mahanta siriah atau menghantar sirih. Namun maksud dan tujuannya sama. Tugas ini dilaksanakan beberapa hari atau paling lambat dua hari sebelum akad nikah dilangsungkan.
Tata Cara
Pada hari yang telah ditentukan calon mempelai pria dengan membawa seorang kawan (biasanya teman dekatnya yang telah atau baru berkeluarga) pergi mendatangi langsung rumah isteri dari keluarga-keluarga yang patutu dihormati seperti disebutkan diatas. Setelah menyuguhkan rokok (menurut cara lama menyuguhkan salapah yang berisi daun nipah dan tembakau) sebagai pembuka kata, kemudian secara langsung pula memberitahu kepada keluarga yang didatangi itu bahwa ia kalau diizinkan Allah, akan melaksanakan akad nikah. Kemudian menjelaskan segala rencana perhelatan yang akan diadakan oleh orang tuanya. Lalu minta izin (mohon doa) restu dan kalau perlu minta sifat dan petunjuk yang diperlukan dalam rencana perkawinan itu. Terakhir tentu memohon kehadiran orang bersangkutan serta seluruh keluarganya pada hari-hari perhelatan tersebut. Biasanya keluarga-keluarga yang didatangi tidaklah melepas pulang begitu saja keluarganya yang datang minta izin secara akrab seperti itu. Dengan dihormati begitu oleh anak kemenakannya, mereka juga merasa terpanggil untuk ikut memikul beban (ringan sama dijinjing, berat sama dipikul) dengan memberikan bingkisan-bingkisan yang berguna bagi orang yang akan pesta. Walaupun misalnya hanya satu kilogram gula pasir saja, sesuai dengan kemampuannya.
Tata Busananya
Untuk melaksanakan acara ini calon pengantin pria diharuskan untuk mengenakan busana khusus. Ada dua pilihan untuk itu yang lazim berlaku sampai sekarang dibeberapa daerah di Sumatera Barat :
1. Mengenakan celana batik dengan baju gunting cina berkopiah hitam dan menyandang kain sarung palekat (atau sarung Bugis)
2. Mengenakan celana batik dengan kemeja putih yang diluarnya dilapisi dengan jas, kerah kemeja keluar menjepit leher jas. Tetap memakai kopiah dengan kain sarung pelekat yang disandang di bahu atau dilingkarkan di leher.
Dahulu si calon mempelai juga diharuskan untuk membawa salapah (semacam tempat untuk rokok daun nipah dengan tembakaunya). Tapi sekarang anak-anak muda telah menukarnya dengan rokok biasa. Sebab tujuan membawa barang tersebut hanyalah sebagai suguhan pertama sebelum membuka kata. Bagi keluarga calon pengantin wanita yang bertugas melaksanakan acara ini yang disebut mahanta siriah, peralatan yang dibawa sesuai dengan namanya yaitu seperangkat daun sirih lengkap bersadah pindang yang telah tersusun rapi baik diletakkan diatas carano maupun didalam kampia (tas yang terbuat dari daun pandan). Sebelum maksud kedatangan disampaikan maka sirih ini terlebih dahulu yang disuguhkan kepada orang yang didatangi. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau)
8. Malam Bainai
Secara harfiah bainai artinya melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang dalam istilah Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku jari calon pengantin wanita. Tumbukan halus daun inai ini kalau dibiarkan lekat semalam, akan meninggalkan bekas warna merah yang cemerlang pada kuku. Lazimnya dan seharusnya acara ini dilangsungkan malam hari sebelum besok paginya calon anak daro melangsungkan akad nikah. Apa sebab demikian ? Pekerjaan mengawinkan seorang anak gadis untuk pertama kalinya di Minangkabau bukan saja dianggap sebagai suatu yang sangat sakral tetapi juga kesempatan bagi semua keluarga dan tetangga untuk saling menunjukkan partisipasi dan kasih sayangnya kepada keluarga yang akan berhelat. Karena itu jauh-jauh hari dan terutama malam hari sebelum akad nikah dilangsungkan semua keluarga dan tetangga terdekat tentu akan berkumpul di rumah yang punya hajat. Sesuai dengan keakraban masyarakat agraris mereka akan ikut membantu menyelesaikan berbagai macam pekerjaan, baik dalam persiapan di dapur maupun dalam menghias ruangan-ruangan dalam rumah. Pada kesempatan inilah acara malam bainai itu diselenggarakan, dimana seluruh keluarga dan tetangga terdekat mendapat kesempatan untuk menunjukkan kasih sayang dan memberikan doa restunya melepas dara yang besok pagi akan dinikahkan. Selain dari tujuan, menurut kepercayaan orang-orang tua dulu pekerjaan memerahkan kuku-kuku jari calon pengantin wanita ini juga mengandung arti magis. Menurut mereka ujung-ujung jari yang dimerahkan dengan daun inai dan dibalut daun sirih, mempunyai kekuatan yang bisa melindungi si calon pengantin dari hal-hal buruk yang mungkin didatangkan manusia yang dengki kepadanya. Maka selama kuku-kukunya masih merah yang berarti juga selama ia berada dalam kesibukan menghadapi berbagai macam perhelatan perkawinannya itu ia akan tetap terlindung dari segala mara bahaya. Setelah selesai melakukan pesta-pesta pun warna merah pada kuku-kukunya menjadi tanda kepada orang-orang lain bahwa ia sudah berumah tangga sehingga bebas dari gunjingan kalau ia pergi berdua dengan suaminya kemana saja. Kepercayaan kuno yang tak sesuai dengan tauhid Islam ini, sekarang cuma merupakan bagian dari perawatan dan usaha untuk meningkatkan kecantikan mempelai perempuan saja. Tidak lebih dari itu. Memerahkan kuku jari tidak punya kekuatan menolak mara bahaya apa pun, karena semua kekuatan adalah milik Allah semata-mata. Dibeberapa nagari di Sum Bar acara malam bainai ini sering juga diawali lebih dahulu dengan acara mandi-mandi yang dilaksanakan khusus oleh wanita-wanita disiang hari atau sore harinya. Maksudnya kira-kira sama dengan acara siraman dalam tradisi Jawa. Calon anak daro dibawa dalam arak-arakan menuju ke tepian atau ke pincuran tempat mandi umum yang tersedia dikampungnya. Kemudian perempuan-perempuan tua yang mengiringkan termasuk ibu dan neneknya, setelah membacakan doa, secara bergantian memandikan anak gadis yang besok akan dinobatkan jadi pegantin itu. Jika kita simpulkan maka hakikat dari kedua acara ini untuk zaman kini mempunyai tujuan dan makna sbb:
1. Untuk mengungkapkan kasih sayang keluarga kepada sang dara yang akan meninggalkan masa remajanya,
2. Untuk memberikan doa restu kepada calon pengantin yang segera akan membina kehidupan baru berumahtangga,
3. Untuk menyucikan diri calon pengantin lahir dan batin sebelum ia melaksanakan acara yang sakral, yaitu akad nikah,
4. Untuk membuat anak gadis kelihatan lebih cantik, segar dan cemerlang selama ia berdandan sebagai anak daro dalam perhelatan-perhelatannya.
Bagi orang-orang Minang yang mengawinkan anak gadisnya di Jakarta, acara-acara ini juga sudah lazim dilaksanakan. Tetapi untuk efisiensi waktu dan pertimbangan-pertimbangan lain seringkali kedua acara tersebut pelaksanaannya digabung menjadi satu. Acara mandi-mandipun dibuat praktis tanpa harus benar-benar mengguyur si calon pengantin, tapi cukup dengan memercikkan saja air yang berisi haruman tujuh kembang itu di beberapa tempat ditubuhnya.
Tata busana
Untuk melaksanakan acara ini calon pengantin wanita didandani dengan busana khusus yang disebut baju tokah dan bersunting rendah. Tokah adalah semacam selendang yang dibalutkan menyilang di dada sehingga bagian-bagian bahu dan lengan nampak terbuka. Untuk serasi dengan suasana, maka orang-orang yang hadir biasanya juga mengenakan baju-baju khusus. Teluk belanga bagi pria dan baju kurung ringan bagi wanita, begitu juga ayah bunda dari calon anak daro. Disamping itu biasanya juga disiapkan beberapa orang teman-teman sebaya anak daro yang sengaja diberi berpakaian adat Minang untuk lebih menyemarakkan suasana.
Tata cara
Jika acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolis maka di salah satu ruangan di atas rumah ditempatkan sebuah kursi dengan payung kuning terkembang melindunginya. Sesudah sembahyang Magrib kalau tamu-tamu sudah cukup hadir, maka calon anak daro yang telah didandani dibawa keluar dari kamarnya, diapit oleh gadis-gadis kawan sebayanya yang berpakaian adat. Untuk memberikan warna Islami, keluarnya calon anak daro dari kamarnya ini disambut oleh kelompok kesenian yang mendendangkan salawat Nabi yang mengiringkannya sampai duduk di kursi yang telah disediakan. Seorang dari saudaranya yang laki-laki, apakah kakaknya atau adiknya, berdiri dibelakangnya memegang payung kuning. Ini maknanya ialah bahwa saudara laki-laki yang kelak akan menjadi mamak bagi anak-anak yang akan dilahirkan oleh calon pengantin merupakan tungganai rumah yang bertanggung jawab untuk melindungi dan menjaga kehormatan saudara-saudaranya dan kemenakan-kemenakannya yang wanita. Setelah itu dua wanita saudara-saudara ibunya berdiri mengapit dikiri kanan sambil memegang kain simpai. Ini maknanya : menurut sistem kekerabatan matrilinial, saudara-saudara ibu yang wanita adalah pewaris pusako yang berkedudukan sama dengan ibu anak daro. Karena itu dia juga berkewajiban untuk melindungi anak daro dari segala aib yang bisa menimbulkan gunjingan yang dapat merusak integritas kaum seperinduan. Walaupun acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolik, kecuali ayah kandungnya maka orang-orang yang diminta untuk memandikan dengan cara memercikkan air haruman tujuh macam bunga kepada calon pengantin wanita ini hanya ditentukan untuk perempuan-perempuan tua dari keluarga terdekat anak daro dan dari pihak bakonya. Jumlahnya harus ganjil. Umpamanya lima, tujuh atau sembilan orang. Dan yang terakhir melakukannya adalah ayah ibunya. Jumlah ganjilnya ini ditetapkan sesuai dengan kepercayaan nenek moyang dahulu yang mungkin mengambil pedoman dari kekuasaan Tuhan dan peristiwa alam, atau karena angka-angka ganjil selalu berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sakral. Seperti sembahyang lima waktu, langit berlapis tujuh, sorga yang paling diidamkan oleh seorang Muslim juga sorga ketujuh. Tawaf keliling Ka’bah dan Sa’i pulang balik antara Safa dan Marwa dilaksanakan juga tujuh kali. Pada beberapa kenagarian calon anak daro yang akan dimandikan itu selain disiram dengan air yang berisi racikan tujuh kembang, maka tubuhnya juga dibaluti dengan tujuh lapis kain basahan yang berbeda-beda warnanya. Setiap kali satu orang tua selesai menyiramkan air ketubuhnya, maka satu balutan kain dibuka, dst.’ Jika acara mandi-mandi ini dilaksanakan secara simbolik, maka air haruman tujuh bunga itu dipercikkan ketubuh calon anak daro dengan mempergunakan daun sitawa sidingin. Tumbukan daun ini dikampung-kampung sering dipakai diluar maupun diminum, ia berkhasiat untuk menurunkan panas badan. Karena itu disebut daun sitawa sidingin. Acara memandikan calon anak daro ini diakhiri oleh ibu bapaknya. Setelah itu kedua orang tuanya itu akan langsung membimbing puterinya melangkah menuju ke pelaminan ditempat mana acara bainai akan dilangsungkan. Perjalanan ini akan ditempuh melewati kain jajakan kuning yang terbentang dari kursi tempat mandi-mandi ke tempat pelaminan. Langkah diatur sangat pelan-pelan sekali karena kedua orang tua harus menghayati betul acara itu yang mengandung nilai-nilai simbolik yang sangat berarti. Setelah sekian tahun ia membesarkan dan membimbing puterinya dengan penuh kehormatan dan kasih sayang, maka malam itu adalah kesempatan terakhir ia dapat melakukan tugasnya sebagai ibu bapa, karena besok setelah akad nikah maka yang membimbingnya lagi adalah suaminya. Kain jajakan kuning ini setelah diinjak dan ditempuh oleh calon anak daro, segera digulung oleh saudara kali-lakinya yang tadi waktu acara mandi-mandi memegang payung kuning. Tindak penggulungan kain kuning itu mengandung harapan-harapan, bahwa si calon anak daro benar-benar melakukan perkawinan itu cukuplah satu kali itu saja seumur hidupnya. Kalaupun akan berulang, maka itu karena maut yang memisahkan mereka.
Bainai
Jika acara memandikan calon anak daro hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja, maka acara melekatkan tumbuhan inai ke kuku-kuku jari calon pengantin wanita Minang ini dapat dilakukan oleh siapa saja. Dapat pula dimintakan untuk dilaksanakan oleh tamu-tamu yang dihormati malam itu, bisa oleh keluarga calon besan. Ada beberapa kenagarian di SumBar, acara bainai ini juga dapat dilakukan bersamaan dengan mengikutsertakan calon pengantin pria. Tapi duduk mereka tidak disandingkan, dan kalaupun ada yang langsung mempersandingkan maka tempat calon pengantin pria tidak di sebelah kanan, tetapi di sebelah kiri calon pengantin wanita. Kuku jari yang diinai sama juga dengan acara mandi-mandi, harus ganjil jumlahnya. Paling banyak sembilan. Menurut tradisi di kampung dulu, kesempatan pada acara bainai ini setiap orang tua yang diminta untuk melekatkan inai ke jari calon anak daro setelah selesai biasanya mereka berbisik ke telinga anak daro. Bisikan-bisikan itu bisa berlangsung lama, bisa sangat singkat. Maksudnya mungkin untuk memberikan nasehat-nasehat yang sangat rahasia mengenai kehidupan berumahtangga, atau bisa juga hanya sekedar seloroh untuk membuat si calon anak daro tidak cemberut saja dihadapan orang ramai. Pelaksanaan kedua acara ini biasanya dipimpin oleh perempuan-perempuan yang memang telah ahli mengenai pekerjaan ini yang dibeberapa daerah di Sum Bar disebut uci-uci. Seringkali juga pada malam bainai ini acara dimeriahkan dengan menampilkan kesenian-kesenian tradisional Minang. Di daerah pantai Sum Bar, hiburan yang ditampilkan lazimnya ialah musik gamat dengan irama yang hampir sama dengan lagu-lagu senandung dan joget Melayu Deli, sehingga mampu untuk mengundang orang secara spontan tegak menari menyambut selendang-selendang yang diulurkan oleh para penyanyi dan penari-penari wanita. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau)
9. Penyambutan Di Rumah Anak Daro
Bila akad nikah dilangsungkan dirumah calon mempelai wanita, bukan di mesjid, maka acara penyambutan kedatangan calon mempelai pria dengan rombongannya di halaman rumah calon pengantin wanita akan menjadi sebuah acara besar.
Acara ini sering juga disebut sebagai acara baralek gadang dengan menegakkan marawa-marawa Minang sepanjang jalan sekitar rumah. Menyiapkan pemain-pemain musik tradisional (talempong dan gandang tabuik) untuk memeriahkan suasana. Menyiapkan payung kuning kehormatan serta pemegangnya untuk memayungi calon pengantin pria. Kemudian juga dipersiapkan barisan galombang adat timbal balik yang terdiri dari pemuda-pemuda berpakaian silat untuk membuka jalan, dan dara-dara berpakaian adat yang akan menyuguhkan sirih secara bersilang dari pihak tuan rumah kepada ninik mamak yang ada dalam rombongan yang datang, dan dari fihak tamu yang datang kepada ninik mamak yang ada dalam rombongan yang menanti.
Tata cara
Secara garis besar ada empat tata cara menurut adat istiadat Minang yang dapat dilakukan oleh pihak keluarga calon mempelai wanita dalam menyambut kedatangan calon mempelai pria yang dilangsungkan pada empat titik tempat yang berbeda pula di halaman rumahnya.
Pertama, memayungi segera calon mempelai pria dengan payung kuning tepat pada waktu kedatangannya pada titik yang telah ditentukan di jalan raya di depan rumah. Atau kalau rombongan datang dengan mobil, pada titik tempat calon mempelai pria ditentukan untuk turun dari mobilnya dan akan melanjutkan perjalanan menuju rumah dalam arak-arakan berjalan kaki.
Kedua, penyambutan dengan tari gelombang Adat timbal balik oleh pemuda-pemuda yang disebut parik paga dalam nagari dengan memberikan penghormatan pertama dan menjaga kiri kanan jalan yang akan dilewati oleh rombongan. Pada satu titik dipertengahan jalan kedua barisan gelombang ini akan bersobok dan pimpinannya masing-masing akan melakukan sedikit persilatan. Ini mengambil contoh pada perkawinan di kampung-kampung dahulu di ranah minang, ketika seorang pemuda harus dikawal oleh kawan-kawannya sepersilatan di dalam perjalanan menuju ke rumah calon isterinya yang berada dikampung lain. Kampung isterinya ini juga dikawal oleh pemuda-pemuda yang selalu siap siaga menjaga keamanan. Sehingga tidak jarang antara kedua kelompok pemuda ini sering terjadi salah paham sehingga mereka saling menunjukkan kelihaian mereka dalam bersilat. Karena itulah dalam pertemuan dua barisan gelombang itu sampai sekarang tetap ada acara persilatan sejenak yang berhenti setelah seorang ninik mamak maju ketengah melerai mereka dengan carano adat. Kemudian acara selanjutnya dengan barisan dara-dara limpapeh rumah dan gadang yang menyonsong mempersembahkan sirih lengkap dalam carano adat bertutup dalamak secara timbal balik dalam gerakan menyilang antara yang datang dan yang menanti.
Ketiga, sambah-manyambah antar juru bicara pihak tuan rumah dengan juru bicara rombongan calon mempelai pria yang dilangsungkan tepat di depan pintu gerbang sebelum masuk ke pekarangan rumah calon mempelai wanita. Menurut adatnya sambah-manyambah di luar rumah ini diawali oleh juru bicara pihak calon pengantin wanita sebagai sapaan kehormatan atas datangnya tamu-tamu ke rumah mereka. Keempat, penyambutan oleh perempuan-perempuan tua pada titik sebelum calon mempelai pria memasuki pintu utama rumah. Perempuan-perempuan inilah yang menaburi calon pengantin pria dengan beras kuning sambil berpantun dan kemudian setelah mempersiapkan naik manapiak bandua maningkek janjang, mencuci kaki calon menantunya dengan menuangkan sedikit air ke ujung sepatu calon mempelai pria. Di Jakarta sekarang juga lazim dilakukan setelah pencucian kaki secara simbolik ini, maka calon pengantin pria akan menapak masuk ke dalam rumah melewati kain jajakan putih yang terbentang antara pintu sampai ke tempat di mana acara akad nikah akan dilangsungkan. Pencucian kaki dan berjalan diatas kain putih ini merupakan perlambang dari harapan-harapan tentang kebersihan dan kesucian hari dari calon menantu dalam melaksanakan niatnya untuk mengawini calon isterinya. Sering juga disebut acara ini bermakna, bahwa calon pengantin pria hanya akan membawa segala yang suci dan bersih ke atas rumah, dan meninggalkan segala yang buruk dan kotor di halaman. Beberapa besar jumlah pemuda-pemuda yang terlibat mendukung penyambutan dengan tari gelombang serta pemudi-pemudi yang mendukung acara persembahan sirih adat, menunjukkan pula besar kecilnya pesta yang diadakan. Namun yang lazim jumlah tidak kurang dari tujuh orang untuk tiap kelompok. Tujuh orang penari gelombang dari pihak yang menanti, yaitu tujuh lagi dari pihak yang datang dan tujuh orang pula dara-dara yang membawa sirih pihak yang menanti dan tujuh orang pula dari pihak yang datang. Namun untuk penghematan tenaga, adakalanya dan sah juga adanya juka penyambutan hanya dilakukan secara sepihak oleh keluarga yang menanti. Artinya barisan gelombang dan dara-dara limpapeh pembawa sirih hanya disiapkan dipihak keluarga calon pengantin wanita saja.
Tata busana
Dua orang yang jadi juru bicara untuk sambah manyambah boleh brepakaian yang sama dengan keluarga. Yaitu pakai sarung dan berkemeja dilapisi jas diluarnya. Yang penting kepalanya harus tertutup dengan kopiah hitam. Boleh juga dikanakan busana model engku damang atau yang sekarang juga sering disebut sebagai jas dubes. Atau kalau dia hanya memakai kemeja dan pantalon biasa, maka dilehernya harus dikalungkan kain palekat yang kedua ujungnya terjuntai ke dada. Sedangkan kepala harus memakai kopiah. Untuk pemuda-pemuda penari gelombang, busananya adalah baju silat biasa dengan celana galembong tapak itiak berkain samping dipinggang dan destar dikepala. Sedangkan untuk dara-dara limpapeh rumah nan gadang yang membawa sirih, mengenakan baju kurung dalam berbagai variasi menurut daerah masing-masing. Hiasan kepala dpat berupa tikuluak tanduak atau hiasan kepala yang ringan seperti sunting rendah atau sunting ringan lainnya yang beraneka ragam terdapat diberbagai daerah di Sumatera Barat. Mengingat gadis-gadis ini dalam acara penyerahan sirih juga akan menari, maka seyogyanya pakaian yang dikenakan jangan terlalu berat sehingga menyusahkan untuk dibawa melenggang atau membuat sipenari tampak garebeh-tebeh. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau)
10. Manjapuik Marapulai
Ini adalah acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan menurut adat istiadat Minangkabau. Menjemput calon pengantin pria ke rumah orang tuanya untuk dibawa melangsungkan akad nikah di rumah kediaman calon pengantin wanita.
Dahulu di kampung-kampung biasanya cukup beberapa orang laki-laki saja dari keluarga calon pengantin wanita yang menjemput calon pengantin pria ini untuk melafaskan ijab kabul di mesjid-mesjid. Setelah selesai akad nikah barulah kemudian keluarga besar kembali menjemput menantunya itu ke rumah orang tuanya untuk dipersandingkan di rumah pengantin wanita. Tetapi sekarang untuk efisiensi waktu yang lazim berlaku di kota-kota besar, akad nikah diadakan di rumah calon pengantin wanita dan setelah itu langsung kedua pengantin dipersandingkan di pelaminan. Maka untuk acara yang semacam ini, penjemputan calon mempelai pria ke rumah orang tuanya harus dilaksanakan sepanjang adat dengan memenuhi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati sebelumnya. Sering terjadi sampai sekarang terutama untuk perkawinan-perkawinan yang diatur oleh orang tua-tua sebuah rencana perkawinan batal gara-gara ketidakcocokan dalam soal jemput menjemput calon marapulai atau mempelai ini. Kekisruhan ini bisa terjadi bukan saja karena tidak sesuainya barang-barang yang dibawa pihak keluarga calon pengantin wanita untuk menjemput, tapi bisa juga karena dirasa juga tidak memenuhi ketentuan-ketentuan adat istiadat menurut tata cara kampungnya atau luhak adatnya yang berbeda-beda. Secara umum menurut ketentuan adat yang lazim, dalam menjemput calon pengantin pria keluarga calon pengantin wanita harus membawa tiga bawaan wajib, yaitu :
Pertama : Sirih lengkap dalam cerana menandakan datangnya secara beradat
Kedua : Pakaian pengantin lengkap dari tutup kepala sampai ke alas kaki yang akan dipakai oleh calon pengantin pria
Ketiga : Nasi kuning singgang ayam dan lauk pauk yang telah dimasak serta makanan dan kue-kue lainnya sebagai buah tangan
Hal-hal diluar ini, itu tergantung kepada adat istiadat daerah masing-masing yang berbeda-beda, serta perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Umpamanya untuk daerah pesisir Sumatera Barat seperti Padang dan Pariaman, berlaku ketentuan untuk membawa payung kuning tujuh tungketan, tombak janggo janggi, pedang (kalau si calon pengantin prianya bergelar Marah, Sidi dan Bagindo) dll. Jika ada perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelumnya dimana pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa uang jemputan, uang hilang, atau apapun namanya,maka segala yang dijanjikan itu harus dibawa secara resmi waktu melakukan acara menjemput marapulai ini. Semua bawaan ini ditata rapi pada wadahnya masing-masing. Banyak atau sedikitnya bawaan yang dibawa serta banyak atau sedikitnya jumlah keluarga pihak calon pengantin wanita yang datang menjemput, sering menjadi ukuran besar kecilnya pesta yang diadakan itu. Untuk melepas anak kemenakan mereka yang akan melakukan akad nikah ini, pihak keluarga calon pengantin pria biasanya juga mengumpulkan seluruh keluarganya yang patut-patut. Termasuk ninik mamak dan para rang sumandonya. Situasi ini dengan sendirinya membuat acara tersebut menjadi sangat resmi, dimana kedua belah pihak keluarga saling berusaha untuk memperlihatkan adat sopan dan basa-basi yang baik. Adat sopan dan basa-basi yang baik itu, bukan hanya tercermin dalam sikap dan tindak tanduk saja, tetapi juga harus terungkap didalam tutur kata. Oleh karena itulah maka pada acara manjapuik marapulai ini, kedua belah pihak keluarga harus menyediakan jurubicara yang dianggap mahir untuk bersikap dan bertutur kata yang baik sesuai dengan tata cara adat yang disebut alur pasambahan, atau yang pandai melaksanakan sambah manyambah. Untuk acara sambah-manyambah dalam alek kawin ini menurut adat Minangkabau tidak perlu harus dilakukan oleh seorang ninik mamak atau penghullu, tetapi dipercayakan kepada yang muda-muda terutama para rang sumando baru dalam lingkungan keluarga masing-masing. Sebagai orang yang dihormati dan dituakan maka ninik mamak dan penghulu dalam pesta perkawinan berperan sebagai tumpuan untuk bermufakat atau tempat memulangkan kata, jika ada hal-hal alam pembicaraan yang memerlukan petunjuk dan saran dari yang tua-tua. Oleh karena kewajiban sambah-manyambah ini merupakan keahlian yang tidak dimiliki oleh setiap orang, maka seringkali dikampung-kampung dulunya acara semacam ini oleh para jurubicara yang ditunjuk, dijadikan ajang untuk saling memamerkan kefasihan mereka masing-masing dalam melafalkan pepatah-petitih dan merentetkan kembali tambo alam Minangkabau, sehingga acara menjadi bertele-tele memakan waktu yang panjang dan membosankan. Sesuai dengan efisiensi waktu pada zaman sekarang ini, dimana akad nikah juga harus tunduk kepada jadwal yang telah ditentukan, maka dengan tidak mengurangi hakekat acara tersebut sebagai suatu yang harus nampak beradat, maka acara sambah-manyambah ini bisa dipadatkan dengan hanya menyebut bagian-bagian yang memang perlu dan wajib disebut sesuai dengan tujuan kedatangan rombongan itu sendiri. Oleh karena didalam pelajaran sambah-manyambah pun ada tata cara pasambahan yang dikategorikan sebagai pangka batang untuk setiap acara yang dihadapi. Di dalam acara manjapuik marapulai ini maka yang pokok-pokok harus disebut itu adalah sbb:
1. Pasambahan menghormati yang tua-tua dan yang patut-patut yang ada diatas rumah,
2. Pasambahan menyuguhkan sirih adat,
3. Menyampaikan maksud kedatangan,
4. Memohon semua keluarga tuan rumah ikut mengiringkan,
5. Menanyakan gelar calon menantu mereka,
6. Berterima kasih atas sambutan dan hidangan yang disuguhkan.
Tata cara
Sesuai dengan hari dan jam yang telah disepakati dengan memperhitungkan jarak yang akan ditempuh serta jadwal waktu akad nikah yang telah ditetapkan sesuai dengan undangan, maka rombongan penjemput berangkat menuju rumah calon pengantin pria bersama-sama sambil membawa segala perlengkapan sebagaimana yang telah disebutkan pada bab terdahulu. Pihak keluarga calon pengantin pria menyambut dan menunggu tamunya di pekarangan rumah sambil menyiapkan pula sejumlah orang-orang yang akan menjawat atau menerima barang-barang yang dibawa oleh rombongan yang datang. Setelah segala bawaan yang dibawa oleh rombongan penjemput ini diterima dihalaman, maka semua rombongan penjemput dipersilakan naik ke atas rumah. Para tamu yang datang menurut adat Minang didudukkan pada bagian yang paling baik di atas rumah. Kalau ada pelaminan; disekitar pelaminan menghadap ke pintu masuk, sedangkan tuan rumah (sipangka) berjejer sekitar pintu atau pada bagian yang dilalui untuk menuju ke dapur atau ke ruang dalam. Barang-barang bawaan rombongan penjemput termasuk sirih dalam cerana setelah diterima di halaman, biasanya ditata dulu dengan baik dan dijejerkan ditengah-tengah rumah agar dapat disaksikan oleh semua orang. Dalam acara manjapuik marapulai ini yang lazim pembicaraan dimulai oleh pihak yang datang. Jika rombongan yang datang membawa seorang juru bicara yang pandai sambah manyambah, maka sebelum pembicaraan dimulai haruslah terlebih dahulu pihak yang datang sambil berbisik bertanya kepada orang yang menanti kepada siapa sembah ini akan ditujukan. Pertanyaan berbisik ini merupakan tata tertib yang perlu dilaksanakan, agar sambah yang akan ditujukan itu jatuh kepada orang yang tepat, artinya orang yang memang telah mempunyai keahlian sepadan untuk menjawab kata secara alur persembahan. Sebab kalau tidak, maka sembah yang dituhuakkan kepada seseorang yang ternyata bukan seorang yang menguasai seni ini, maka ini dapat membuat malu dan canggung orang yang dituju dan bahkan juga dapat menimbulkan rasa kurang enak dihati tuan rumah. Pembicaraan pertama yang dibuka oleh pihak yang datang ini, tidak pulalah sopan jika secara langsung mengungkapkan maksud kedatangan rombongan. Yang lazim adalah juru bicara setelah menyatakan terima kasih atas penyambutan yang ramah dan baik dari tuan rumah dalam menerima kedatangan mereka, maka ia akan bertanya terlebih dahulu, apakah dia sudah dibenarkan untuk menyampaikan maksud dari kedatangan rombongan. Didalam alur persembahan kalimat bertanya tersebut terungkap dalam kata-kata bersayap sbb:
Jikok ado nan takana di ati
Nan tailan-ilan dimato
Alah kok buliah kami katangahkan ?
Lazimnya menurut tata tertib yang betul sebagaimana yang tetap berlaku sampai sekarang di ranah minang, tuan rumah melalui jurubicaranya tidaklah akan menjawab begitu saja secara langsung memberikan izin kepada rombongan yang datang untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka. Orang bertamu ke rumah orang lain biasanya disuguhi air minum agak seteguk lebih dahulu sebelum berunding, apalagi satu rombongan yang datang secara beradat. Ini sesuai dengan idiom Minang yang mengatakan :
Jikok manggolek di nan data
Jikok batanyo lapeh arak
Jikok barundiang sudah makan
Demikian pembicaraan akan terputus sementara untuk mempersilakan tamu-tamu makan atau setidak-tidaknya minum segelas air dan mencicipi kue-kue yang telah disediakan. Setelah selesai acara santap atau makan kue-kue kecil ini, barulah juru bicara pihak rombongan yang datang kembali mengangkat sembah, mengulangi kembali pertanyaan yang tertunda tadi. Setelah jurubicara tuan rumah menyatakan bahwa runding sudah bisa dilanjutkan, maka barulah jurubicara yang datang secara terperinci mengemukakan maksud kedatangan rombongan dalam alur persembahannya yang pokok-pokok isinya harus memenuhi ketentuan-ketentuan adat menjemput maapulai sbb :
1. Menyatakan bahwa mereka itu merupakan utusan resmi mewakili pihak keluarga calon pengantin wanita.
2. Bahwa mereka datang secara adat. Maningkek janjang manapiak bandua dengan membawa sirih dalam carano.
3. Bahwa tujuan mereka adalah untuk menjemput calon mempelai pria (sebutkan namanya dan nama orang tuanya dengan jelas).
4. Menegaskan bahwa jemput itu jemput terbawa, sekalian dengan keluarga yang akan mengiringkan.
Kalimat-kalimat dalam alur persembahan bisa bervariasi panjang dengan menyebut dan membeberkan kembali sejarah kelahiran seorang anak sampai dewasa dan sampai berumah tangga atau mengulang-ulang tambo sejarah ninik moyang orang Minang mulai dari puncak Gunung Merapi sampai ke laut yang sedidih dsb. Tetapi itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan inti maksud kedatangan rombongan, kecuali hanya untuk memamerkan keahlian si tukang sembah. Sedangkan yang pokok menurut adat untuk disebut adalah yang berhubungan dengan empat ketentuan di atas. Setelah keempat maksud itu disampaikan, dan diterima oleh jurubicara tuan rumah maka barulah seperangkat pakaian yang dibawa oleh rombongan penjemput diserahkan kepada tuan rumah untuk bisa segera dipakaikan kepada calon mempelai pria. Sambil menunggu calon mempelai pria berpakaian, barulah dilanjutkan lagi acara dengan alur persembahan menanyakan gelar calon mempelai pria. Setelah selesai acara sambah-manyambah ini, dan setelah selesai calon mempelai pria didandani dan dikenakan busana yang dibawa oleh keluarga calon mempelai wanita, maka sebelum rombongan termasuk rombongan keluarga yang laki-laki berangkat bersama-sama menuju rumah kediaman calon mempelai wanita, haruslah calon mempelai pria memohon doa restu terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya dan kepada keluarga-keluarganya yang tua-tua dan yang pantas untuk dihormati dalam kaumnya. Oleh karena anak laki-laki di dalam kekerabatan Minang kalau sudah beristeri biasanya akan tinggal di rumah isterinya, maka sering juga anak laki-laki yang akan kawin itu disebut akan menjadi “anak orang lain”. Sehingga momen permohonan doa restu ketika akan berangkat nikah, seringkali menjadi sangat mengharukan, dimana yang dilepas dan yang melepas saling bertangis-tangisan. Lazimnya dalam acara menjemput calon mempelai pria ini, pihak keluarga calon mempelai wanita juga membawa dua orang wanita muda yang baru berumah tangga untuk dijadikan pasumandan yang mengiringkan dan mengapit calon mempelai pria mulai turun rumahnya sampai disandingkan di pelaminan setelah akad nikah. Pasumandan ini juga didandani dengan baju kurung khusus dan kepalanya dihiasi dengan sunting rendah. (Sumber : Tata Cara Pelaksanaan Adat Minangkabau)
Sabtu, 30 Juni 2012
Adat perkawinan Minang Kabau
23.40 by Unknown
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar